Vokaloka, Bandung – Ada rasa tertentu yang hanya bisa ditemukan pada jajanan lama dengan rasa yang sederhana, jujur, dan penuh kenangan. Awug Mang Ipin adalah salah satunya. Di balik wangi kelapa parut dan gula merahnya, tersimpan perjalanan seorang lelaki yang sudah akrab dengan dunia awug sejak SMP pada 2007, ketika keluarganya kesulitan membayar sekolah. Pernah berhenti ketika fokus UN dan bekerja, jalur hidupnya kembali berputar ke awug pada 2020 setelah di-PHK pandemi. "Karena dulu pernah jualan awug, jadi mulai lagi," ujarnya. Keahliannya ia dapat dari kodrat, sosok asal Majalaya yang pernah bekerja pada penjual awug legendaris di Cibeunying tempat Mang Ipin pertama kali belajar mengolah jajanan klasik ini.
Ia biasa berjualan pada pagi hari pukul 06.00–10.00, awalnya di Pasar Kembar dan kemudian di Pasar Taman Senang. Namun kini Mang Ipin sudah berhenti berjualan awug karena mendapatkan pekerjaan baru.
Awug buatannya tetap setia pada cara lama terdapat tepung beras, kelapa, gula, sedikit garam, lalu dikukus dalam aseupan bambu berlapis daun pisang. Bedanya, kini memakai kompor, bukan arang. Setiap kukusan hanya membutuhkan 10–15 menit sebelum mengembang dan mengeluarkan aroma manis-gurih yang khas. Ia menghasilkan 3–4 aseupan per hari. Soal rasa, Mang Ipin tak pernah membocorkan rahasianya, hanya satu kalimat: "Kualitas itu tidak akan membohongi."
Proses menyantap awug menjadi pengalaman tersendiri. Aromanya langsung menguar hangat, manis, dan lembut dengan sentuhan kelapa yang menyegarkan. Rasa yang muncul begitu bersih manis alami gula merah dan gurih kelapa yang menyatu tanpa saling menenggelamkan. Teksturnya lembut namun berbutir halus, khas kukusan tepung beras yang masih memakai aseupan. Setiap gigitan memberi kesempatan untuk mengenali bahan-bahan sederhana yang diracik dengan ketelitian, menghadirkan tradisi Sunda dalam bentuk paling apa adanya.
Bagi Mang Ipin, awug bukan sekadar sumber nafkah, tetapi potongan tradisi yang makin jarang disentuh generasi muda. "Anak-anak sekarang tahu takoyaki, tapi nggak tahu awug," keluhnya. Walau begitu, pelanggan setianya terutama orang tua selalu kembali. Bahkan ada yang mengirim pesan jika ia tak berjualan. Harapannya sederhana namun mendalam agar awug dan jajanan Sunda seperti putri noong, ali agrem, hingga ongol-ongol tetap hidup, dikenali, dan dicicipi oleh generasi berikutnya sebelum benar-benar menghilang dari ingatan.
Reporter: Fira Amarin KPI/5B
Tidak ada komentar
Posting Komentar