Harmoni Beragama: Kisah Mahasiswa Katolik Timor Leste di Kampus Vokasi Berbasis Islam Cirebon

 



Vokaloka. Cirebon - Suara azan Subuh berkumandang merdu, memecah keheningan pagi di Desa Panambangan, Kecamatan Sedong. Di sebuah kontrakan sederhana, Aquelino da Costa Tilman, mahasiswa asal Timor Leste, terbangun. Dulu, suara panggilan salat itu terasa asing, namun kini menjadi alarm rutinitas kesehariannya. Sementara tak jauh darinya, teman-teman Muslimnya bersiap menunaikan salat.

"Kalau di sini mereka salat, kita kasih waktu untuk mereka bisa salat dulu," ujar Aquelino, mahasiswa yang akrab disapa Aquelino, yang telah hampir setahun menimba ilmu di Politeknik Siber Cerdika Internasional (Poltek SCI). "Salah satu bentuk toleransi saya itu, ketika mereka salat di dalam kontrakan, saya di luar dulu tunggu habis (selesai salat)".

Kisah Aquelino dan enam mahasiswa lain dari Timor Leste adalah cerminan toleransi sejati. Mereka semua beragama Kristen Katolik, namun memilih menimba ilmu di Poltek SCI, sebuah kampus vokasi internasional berbasis Islam yang berdiri sejak 2023 di tengah persawahan Cirebon. Lima di antaranya baru tiba pada tahun 2025 ini.

Ekspektasi vs Realitas: Menemukan Keindahan Azan


Jaquelina Amaral Da Silva, mahasiswi Katolik lainnya, mengaku sempat hanya mengenal Islam lewat televisi. Ia sempat mengira suara azan subuh yang ia dengar adalah rekaman.

"Ternyata dari orangnya langsung. Jadi suaranya kok merdu banget, bagus," tuturnya, menceritakan realitas yang ia temukan di Cirebon.

Namun, kedatangan mereka tidak lepas dari kekhawatiran. Stigma negatif tentang ajaran agama Islam sempat menghantui pikiran mereka. Aquelino berterus terang, secara emosional dan fisik ia merasa takut. Sebagai satu-satunya mahasiswa Katolik di tengah ratusan mahasiswa Muslim, ia khawatir akan adanya perlakuan diskriminasi. Apalagi, ia datang dengan penampilan khas Timor Leste—masih memakai anting dan gaya berpakaian yang belum formal menurut standar kampus.

"Tapi sekarang udah biasa," kata Aquelino sambil tersenyum. "Saya belajar lah dari teman-teman. Satu persatu".

Tidur di Mushala, Ikut Tahlil, dan Mengenakan Kopiah

Toleransi yang mereka rasakan jauh melampaui ekspektasi. Salah satu pengalaman yang paling mengesankan adalah ketika Aquelino pernah diizinkan untuk tidur dan beribadah di mushala.

Kisah ini bermula saat ia tinggal di Kemarang, Cirebon, dengan jarak yang cukup jauh ke gereja. Ia memberanikan diri meminta izin kepada mahasiswa Poltek SCI yang juga seorang pamong desa. "Bang, saya bisa (beribadah) di sini?" tanyanya ragu.

"Ah, enggak apa-apa, boleh," jawab temannya.

Jawaban itu menjadi penilaian toleransi yang paling tinggi bagi Aquelino. Ia merasa sangat bersyukur. Baginya, yang terpenting adalah bisa berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Keterlibatan mereka bahkan semakin mengejutkan. Mahasiswa Katolik ini tak hanya menjadi penonton, tetapi peserta aktif dalam kegiatan keislaman. Aquelino mengaku pernah ikut tahlil, berselawat bersama, dan terlibat dalam kurban, bahkan ikut menjaga dan menyaksikan proses penyembelihan kambing.

Momen paling berkesan lainnya adalah saat ia diminta mengenakan kopiah dalam acara tahlil di kampus. Ia sempat kaget dan khawatir dengan pandangan orang. Namun, teman-temannya meyakinkan bahwa tidak ada larangan, asalkan diizinkan dalam agamanya. Aquelino memahami ini sebagai bentuk toleransi dan keterbukaan yang luar biasa.

Batas Toleransi: Prinsip yang Tak Berubah

Keterlibatan dalam ritual keagamaan lain memunculkan pertanyaan krusial tentang batas toleransi. Aquelino menjawab bahwa ia merasa sudah melampaui batas, tetapi ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan budaya di Cirebon demi pendidikannya.

Ia segera menambahkan prinsip teganya: "Bukan saya menjual kepercayaan gue. Tapi saya punya prinsip".

Bagi para mahasiswa ini, batas toleransi yang sebenarnya adalah ketika keyakinan berubah.

"Kalau saya sudah mengubah keyakinannya, berarti itu sudah melampaui batas," jelas Aquelino.

"Masih normal-normal aja. Karena itu belum benar-benar mengubah keyakinan," tambah Jaquelina.

Keterbukaan mereka berakar kuat pada ajaran Katolik itu sendiri. Aquelino menjelaskan bahwa Katolik bersifat universal atau umum; terbuka untuk berteman dengan orang Muslim, Buddha, Protestan, atau agama lainnya.

"Dia tidak ada larangan untuk orangnya dia itu bisa beribadah di, ikut beribadah di agama lain," tegasnya. Prinsip penting yang mereka pegang adalah baptis hanya satu kali. Mereka juga menganut filosofi kemanusiaan universal: "Prinsipnya kita sesama manusia. Manusia itu sesama saling melengkapi satu sama lain. Karena manusia itu semua orang itu makan nasi, makan makanan. Darah itu satu, cuma darah merah".

Dialog Terbuka sebagai Kunci Harmoni

Dari kegiatan keislaman yang diikuti, mereka mengambil banyak pelajaran positif. Kegiatan seperti tahlil menjadi ruang untuk berbagi cerita, saling terbuka, dan menyelesaikan masalah.

Kunci keberhasilan toleransi ini adalah dialog terbuka sejak awal. Teman-teman Muslim mereka juga sangat komunikatif. Jaquelina mengaku sempat bertanya, "Emang boleh ya kalau saya ikutan gitu?". Ternyata tidak ada halangan. "Komunikasi yang itu terbuka lah, tidak rasis," tegas Jaquelina. Bahkan dalam organisasi kampus, mereka selalu diajak untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan.

Lingkungan Muslim yang adaptif ini juga membawa transformasi personal bagi Aquelino. Ia mengaku telah berhenti minum alkohol sejak datang ke Poltek SCI. Hal ini bukan paksaan, melainkan adaptasi, mengutip pepatah, "Di mana bumi dipijak di situ langit dijungjung".

"Selama saya masih menitipkan diri untuk bisa mencari ilmu di sini, kita harus ikut budaya dan ilmu di sini seperti apa," katanya.

Harapan dan Pelajaran Penting

Aquelino berpandangan bahwa semua kegiatan yang diikuti bernilai positif. "Agama itu kan sebagai jembatan untuk bisa membawa kita ke jalan yang benar, untuk bisa mengenal Yang Maha Pencipta itu siapa," ujarnya.

Harapannya, teman-teman di luar lingkungan Poltek SCI juga bisa saling menghormati dan menghargai, serta membangun dialog terbuka. "Karena kita, biarpun kita ini berbeda agama, tapi kita cuma tujuan itu satu aja. Percaya pada Yang Maha Kuasa, atau Yang Maha Pencipta".

Kisah mahasiswa Katolik Timor Leste di Poltek SCI mengajarkan bahwa toleransi sejati adalah toleransi aktif. Ini adalah keberanian untuk terlibat, belajar memahami, tanpa kehilangan identitas. Aquelino merangkumnya: "Saya fokus bukan saya membandingkan agama, ... Tapi saya berfokus bisa tahu gimana si orang Muslim itu seperti apa".

Kampus vokasi kecil di pedesaan Cirebon ini membuktikan bahwa harmoni lahir dari keberanian keluar dari zona nyaman, kesediaan untuk memahami yang berbeda, dan kepercayaan bahwa perbedaan agama dapat saling melengkapi.

Penulis: Rokibullah
Mahasiswa Pasca Sarjana KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia



Tidak ada komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo