Vokaloka, Bandung - Pernah merasa refleks membuka Instagram atau TikTok bahkan tanpa sadar? Atau gelisah saat belum melihat story teman? Bagi banyak anak muda, terutama Generasi Z, kebiasaan itu bukan sekadar hiburan, melainkan gejala psikologis yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Istilah ini diperkenalkan oleh psikolog Andrew Przybylski pada 2013 untuk menggambarkan kecemasan saat seseorang merasa tertinggal dari pengalaman orang lain.
Sebagai generasi yang tumbuh bersama internet, Gen Z hidup dalam arus informasi yang nyaris tanpa jeda. Media sosial menjadi ruang utama untuk membangun relasi, membentuk identitas, sekaligus mencari pengakuan. Dalam teori komunikasi Uses and Gratifications, individu menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya, termasuk kebutuhan akan rasa diterima. Masalahnya, ketika validasi diri terlalu bergantung pada respons digital, kepercayaan diri ikut dipertaruhkan.
FOMO secara perlahan menggeser pola komunikasi. Percakapan yang dulunya berbasis dialog kini berubah menjadi interaksi yang serba singkat dan reaktif. Emoji menggantikan ekspresi, meme menggantikan cerita, dan "seen" sering kali lebih menentukan suasana hati dibanding isi pesan itu sendiri. Komunikasi menjadi cepat, tetapi kehilangan kedalaman emosionalnya.
Dampaknya tidak berhenti pada cara berbincang. Berbagai studi menunjukkan bahwa intensitas penggunaan media sosial berkaitan dengan meningkatnya kecemasan, gangguan tidur, dan stres pada remaja dan dewasa muda. Banyak anak muda merasa perlu selalu "hadir" secara digital, bahkan ketika tubuh dan pikirannya lelah. Produktivitas menurun, bukan karena rendahnya kemampuan, tetapi karena energi mental terkuras untuk mempertahankan citra.
Beginilah paradoks komunikasi hari ini semakin terhubung, justru semakin mudah merasa sendirian. FOMO mengajarkan kita untuk selalu melihat keluar, sementara yang sering terlupakan adalah kebutuhan untuk berdamai dengan diri sendiri.
Di tengah situasi ini, muncul gagasan Joy of Missing Out (JoMO) sebagai bentuk perlawanan terhadap kecemasan digital. Bukan berarti menolak teknologi, melainkan belajar memilih jarak secara sadar. Tidak semua hal perlu diikuti, tidak semua momen harus dibagikan.
Pada akhirnya, komunikasi yang sehat bukan soal seberapa cepat kita merespons notifikasi, melainkan seberapa jujur kita hadir dalam percakapan. Mungkin, generasi hari ini tidak kekurangan koneksi. Yang kurang adalah ruang untuk benar-benar merasa cukup.
Referensi Tulisan:
https://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/19739/11430
https://jurnalsentral.com/index.php/jdss/article/view/114/117
https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/19110/12922
Reporter: Fira Amarin KPI/5B
Tidak ada komentar
Posting Komentar