Di sebuah ruangan sederhana di Kantor Desa Cibiru Hilir, seorang laki-laki berusia 34 tahun duduk sambil tersenyum kikuk. Namanya Wahyu, lahir dan besar di desa yang sama, 29 Desember 1990. Tak pernah terbayang oleh dirinya, seorang anak kampung yang dulu hanya gemar mengedit gambar dan membantu usaha kakaknya, kini menjadi salah satu sosok yang menggerakkan semangat perubahan di desanya.
Akar yang Sederhana dari Cibiru Hilir
Riwayat pendidikannya sangat biasa, TK Yuwana, SD Negeri 9, SMP Negeri 1, kemudian melanjutkan ke MAN sebelum akhirnya kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, mengambil jurusan Jurnalistik. Bidang yang ia pilih saat itu pun tidak pernah ia sangka akan membawanya ke dunia pemerintahan.
"Saya mah dulu cuma bisa desain-desain, bikin kemasan buat kakak. Kerja juga di Telkomsel sebentar, tapi karena COVID dan ada masalah internal, keluar tahun 2020," kenangnya.
Setelah keluar, ia sempat membuka jasa penerimaan pulsa, hidup seadanya sambil terus membantu usaha kakaknya. Tak ada tanda-tanda bahwa hidupnya akan berubah besar dalam beberapa tahun ke depan.
Gerbang Tak Terduga: Pilkades 2021
Awal perjalanan Wahyu di pemerintahan justru datang dari arah yang tak ia duga. Pilkades 2021 membuka pintu bagi seorang pemuda tanpa latar belakang administrasi untuk masuk ke ranah birokrasi desa.
Saat itu, kakaknya terlibat sebagai ketua tim sukses salah satu calon kades, Pak Dadang Salahudin. Karena melihat kemampuan Wahyu dalam desain, ia diminta membantu membuat banner kampanye. Dari sanalah percakapan kecil berubah menjadi peluang besar.
"Adik saya lulusan S1, bisa kerja sama, bisa bantu pemerintahan," begitu kira-kira yang disampaikan kakaknya pada tim.
Wahyu yang tidak dikenal siapa pun di ranah pemerintahan akhirnya mendaftar sebagai perangkat desa. Meski tanpa pengalaman, tekadnya besar. Ia mulai mencari informasi ke tokoh masyarakat, menggali sejarah desa, dan mempelajari hal-hal yang tidak tercatat di website desa.
Pada akhir 2021, ia mengikuti tes perangkat desa dan diterima sebagai Kasi Pemerintahan.
Belajar dari Nol: Dari Berkas Menumpuk hingga Tata Naskah
Hari-hari pertama Wahyu di kantor desa penuh kebingungan. "Berkas numpuk, saya nggak tahu mana dulu yang harus dikerjakan. Tapi karena sudah terjun, ya kudu bisa," katanya sambil tertawa.
Di sinilah peran Pak Guntur menjadi titik penting. Sosok senior itu membimbingnya dari dasar, tata naskah dinas, cara memimpin rapat, hingga bagaimana menghadapi warga dari berbagai latar sosial.
"Pak Guntur itu yang ngasih tahu kalau menghadapi warga mah tidak bisa disama-samakan. Warga bawah, menengah, atas, semua beda caranya," ujar Wahyu.
Dalam satu tahun, ia belajar banyak. Dari bekerja di balik meja hingga berbicara di depan masyarakat.
Momen yang Mengubah: Dari Peserta Wawancara Menjadi Pewawancara
Ada satu bagian dari kisah Wahyu yang paling ia banggakan.
"Tahun 2022 saya diwawancara. Tahun 2023 saya yang jadi pewawancara," ucapnya pelan, seakan masih sulit percaya.
Ia tak hanya ikut menilai peserta. Ia menyusun soal tes, memimpin jalannya rekrutmen perangkat desa, hingga merumuskan hasil akhir. Kepercayaan itu menjadi bukti bahwa kerja kerasnya benar-benar terlihat.
Lahirnya "Harmoni": Inovasi yang Hidup hingga Kini
Dari sekian peran, kontribusi Wahyu yang paling terasa bagi masyarakat adalah ketika ia menggagas acara besar Harmoni Desa Cibiru Hilir, sebuah festival desa yang mengumpulkan warga dari berbagai dusun dalam satu titik perayaan.
Pada 2022, kegiatan peringatan Agustusan masih terpisah-pisah. Wahyu melihat potensi yang hilang: kebersamaan.
Ia menyampaikan idenya: sebuah festival yang tidak hanya merayakan kemerdekaan, tapi juga menjadi ruang kreativitas dan silaturahmi warga.
"Awalnya banyak pro-kontra. Tapi setelah dipaparkan, Alhamdulillah diacc," katanya.
Hasilnya luar biasa. Harmoni 1 (2023) berjalan sukses. Tahun berikutnya semakin besar. Dan kini sudah memasuki Harmoni 3, dengan konsep yang semakin matang.
Meski tidak selalu tampil di depan, Wahyu menjadi sosok penggerak di balik layar. Ia merancang konsep, menyusun alur acara, bahkan membantu RW membuat ide dekorasi dan atraksi.
"Kebanggaan terbesar saya itu lihat warga antusias, punya inovasi sendiri, dan tetap jalan sampai sekarang," ujarnya.
Menghidupkan Hari Jadi Desa
Bukan hanya Harmoni, Wahyu juga termasuk orang yang menggali ulang sejarah Desa Cibiru Hilir dan menemukan bahwa hari jadi desa jatuh pada 10 Mei 1989, sesuatu yang tak diketahui banyak orang sebelumnya.
Dari sana lahir ide perayaan Milangkala Desa, yang akhirnya terlaksana pada 2025. Ia merancang konsep acara, memanfaatkan UMKM lokal, dan memastikan kegiatan berjalan meriah meski tanpa anggaran besar.
Bangkit dari Kemunduran 2024
Wahyu tidak berjalan mulus sepanjang jalan. Pada 2024, ia sempat terpuruk karena permasalahan pribadi dan semangatnya menurun drastis. Namun tahun 2025 menjadi momen bangkitnya kembali.
Ia mulai memimpin musyawarah dusun, mempelajari karakter warga, dan mempersiapkan materi jauh sebelum tampil.
"Kuncinya itu persiapan. Minimal dua jam sebelum tampil, atau bahkan satu hari sebelumnya sudah harus paham materinya," katanya.
Ia kembali menemukan ritmenya, kali ini dengan lebih matang dan percaya diri.
Digitalisasi Desa: Ilmu yang Dibagikan, Bukan Disimpan
Kemampuan desain Wahyu menjadi nilai tambah besar bagi desa. Ia membuat undangan, banner, konten digital, hingga membantu mengelola website desa. Ia juga mengajarkan staf lain mengoperasikan aplikasi perkantoran dan mesin ADM.
"Saya mah nggak pelit ilmu. Kalau dibagiin, kita jadi makin paham," katanya.
Ia bukan hanya bekerja, ia membangun kapasitas.
Dari Tidak Dikenal, Kini Menjadi Tulang Punggung Layanan Publik
Saat ditanya apa yang paling ia rasakan dari perjalanan panjangnya, Wahyu menjawab sederhana:
"Yang awalnya saya bukan siapa-siapa, sekarang Alhamdulillah bisa bermanfaat."
Ia bukan pejabat besar. Bukan tokoh yang selalu muncul di publik. Namun, di antara tumpukan berkas, rapat RW, desain banner, dan keramaian Harmoni, nama Wahyu menjadi bagian penting dari perubahan di Desa Cibiru Hilir.
Ia tumbuh, belajar, jatuh, bangkit, dan terus bergerak.
Dan seperti kata-kata yang selalu ia pegang:
"Kalau sudah terjun, kudu bisa."
Penulis: Muhammad Azril Hafizurrahman, KPI/5A
Tidak ada komentar
Posting Komentar