Vokaloka, Bandung – Ketekunan dan kesabaran menjadi kunci keberhasilan seorang santri asal Bandung, Defani Raspati, yang berhasil meraih juara dalam lomba membaca kitab Fathul Mu'in. Santri Madrasah Aliyah Sukamiskin itu membuktikan bahwa kerja keras dan keikhlasan bisa mengalahkan segala keterbatasan.
Defani, atau akrab disapa Defan, sudah menempuh pendidikan di lingkungan pesantren selama hampir sepuluh tahun. Selain menjadi pengurus bidang pendidikan di madrasahnya, ia juga tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dalam kesehariannya, ia dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tekun menuntut ilmu agama.
Perjalanan Defani dalam memahami kitab kuning dimulai sejak ia duduk di kelas dua Aliyah. Ia pertama kali mempelajari Fathul Mu'in, sebuah kitab klasik yang menjadi rujukan penting dalam kajian fikih.
"Awalnya karena di pesantren kami pelajaran utamanya tahrib, tapi setelah delapan tahun belajar rasanya belum ada peningkatan. Jadi saya coba ke Fathul Mu'in biar ada tantangan baru," ujarnya.
Dalam perjalanannya, Defani mendapat bimbingan langsung dari gurunya, Kang Mimit atau Raden Halbar, yang juga mengajarkan berbagai kitab tasawuf. Ia mengaku banyak belajar kesabaran dan konsistensi dari sosok tersebut.
"Beliau itu bukan cuma ngajarin, tapi juga ngasih contoh. Dari beliau saya belajar sabar," tuturnya.
Menariknya, keikutsertaan Defani dalam lomba membaca kitab Fathul Mu'in berawal dari rasa penasaran. Dengan waktu persiapan yang hanya dua minggu, ia memberanikan diri ikut lomba meski belum terlalu siap.
"Saya cuma pengen nyoba karena belum pernah ikut lomba Fathul Mu'in. Kebetulan usianya maksimal 22 tahun, dan saya pas banget 22," katanya.
Metode belajar yang ia gunakan pun tidak biasa. Ia tidak mempelajari kitab secara berurutan, melainkan secara acak.
"Saya buka halaman mana aja, terus baca. Kadang ketemu bagian yang belum pernah saya baca, tapi alhamdulillah pas lomba bisa kebaca," ujarnya.
Keputusan itu berbuah manis. Defani dinyatakan sebagai juara dalam lomba tersebut.
"Saya kaget, nggak nyangka bisa menang. Soalnya niatnya cuma cari pengalaman, bukan ngejar juara," ungkapnya dengan rendah hati.
Namun, bagi Defani, kemenangan itu bukan hanya pencapaian pribadi. Ia menilai keberhasilannya juga berkat lingkungan pesantren yang mendukung penuh proses belajarnya.
"Kalau saya menang, berarti pesantren juga menang. Karena karakter seseorang dibentuk dari lingkungannya," ujarnya menegaskan.
Perjuangan Defani untuk bisa membaca kitab tanpa harakat tidaklah mudah. Ia mengaku harus menyelesaikan tahrib sebanyak 1.300 kali selama empat tahun.
"Saya orangnya lemot dan cadel, tapi bisa istiqamah. Teman saya pernah bilang, 'berjuang itu mudah, tapi bertahan itu yang sulit,' dan saya ngerasain banget," tuturnya.
Ketekunannya pun tidak lepas dari prinsip hidup yang ia pegang. Di tengah derasnya arus digital, Defani tetap memilih fokus pada proses.
"Sekarang banyak orang kehilangan semangat karena terlalu dengerin omongan orang. Makanya saya bilang, kita harus punya dua sifat: buta dan tuli. Buta terhadap pencapaian orang lain, dan tuli terhadap hinaan orang," katanya tegas.
Selain kisah perjuangan di pesantren, Defani juga menyimpan pengalaman kelam di masa kecilnya. Ia pernah difitnah mencuri uang masjid dan bahkan dipukuli warga, termasuk ayahnya sendiri yang sempat mempercayai tuduhan itu.
"Sejak itu saya benci banget sama masyarakat. Rasanya mereka bukan manusia," ucapnya.
Namun, seiring waktu dan kedewasaan, Defani belajar memaafkan. Melalui kajian humaniora dan pergaulan di pesantren, ia menyadari pentingnya empati.
"Saya belajar bahwa seburuk apa pun masyarakat, mereka tetap manusia. Sekarang cita-cita saya cuma satu: ingin menyadarkan masyarakat supaya nggak ada lagi orang yang diperlakukan seperti saya dulu," ucapnya penuh harap.
Kini, Defani menjadikan ilmu agama sebagai jalan untuk memperbaiki diri dan lingkungannya. Ia ingin membangun jembatan antara dunia pesantren dan kehidupan sosial masyarakat.
Kisah Defani Haspati menjadi bukti bahwa perjuangan dan ketulusan tidak pernah sia-sia. Dari seorang santri sederhana yang sempat diremehkan karena cadel, ia tumbuh menjadi sosok inspiratif yang mengajarkan makna sejati dari istiqomah bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari seberapa tinggi kita berdiri, tetapi dari seberapa kuat kita bertahan di tengah ujian hidup.
Reporter: Nabillah Luthfiyana, KPI 5/B
Tidak ada komentar
Posting Komentar