VOKALOKA.ONLINE, Bandung (24/09/2025) - Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menambah kuota penerimaan siswa baru di sekolah negeri hingga 50 siswa per kelas telah memicu polemik dan keresahan di kalangan sekolah swasta. Kebijakan ini, yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS), bertujuan untuk menekan angka anak tidak sekolah (ATS), namun dinilai mengancam keberlangsungan operasional sekolah swasta.
Penambahan kuota di sekolah negeri, yang awalnya direncanakan satu gelombang, ternyata diperluas hingga lebih dari dua kali. Dampak nyata dari kebijakan ini bukan hanya dirasakan langsung oleh SMA swasta saja, tetapi dampaknya dirasakan juga oleh SMP swasta, salah satunya adalah SMP QLP Rabbani Kota Bandung. Kepala SMP QLP Rabbani, Faizal Amin, S.Ud., mengungkapkan, "Dampaknya terasa sekali, khususnya di sekolah kami. Biasanya ada sampai 50 siswa di satu angkatan, dan tahun ini hanya ada 30 saja."
Hal yang serupa juga dirasakan oleh MTs Baabussalaam Kota Bandung. Kepala MTs Babussalaam Jajang Nurjaman, M.Pd., menyebutkan bahwa kebijakan gubernur ini berdampak sangat dahsyat bagi sekolah swasta. "Bahkan ada isu yang mungkin tidak dapat siswa, ada siswanya tiga. Kami masih bersyukur bisa lebih dari sepuluh orang," tuturnya. Ia menambahkan bahwa sekolah-sekolah swasta kecil yang lokasinya tersembunyi sangat terdampak.
Penurunan jumlah siswa ini secara langsung memengaruhi pendanaan sekolah, terutama dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah yang dihitung per jumlah siswa. Kepala SMP QLP Rabbani, Faizal Amin menjelaskan, "Kalau dana BOS itu kan dihitungnya per kepala. Seiring berkurangnya siswa, berkurang juga dana BOS yang bisa kami maksimalkan," ujar Kepala SMP QLP Rabbani.
Hal ini juga dipertegas oleh Kepala MTs Baabussalaam, Jajang Nurjaman. "Pemerintah dengan memberikan (dana BOS) ya kalau kami sekolah kecil dengan siswanya hanya 30, operasional tidak akan cukup," ujarnya. Ia juga mencontohkan, sekolahnya hanya menerima bantuan sekitar Rp33 juta per tahun (dihitung dari 30 siswa x Rp1.100.000), jumlah yang tidak mencukupi untuk operasional. "Paling tidak mungkin pemerintah hadir untuk memberikan afirmasi kepada sekolah-sekolah kecil bantuan lah," harapnya.
Selain masalah finansial, kebijakan penambahan kuota ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kualitas pendidikan. "Boro-boro ngadidik 50 orang siswa dalam satu kelas, 30 saja sudah lumayan banyak," ujar Kepala MTs Baabussalaam, Jajang Nurjaman. Ia juga mempertanyakan kenyamanan dan idealisme proses belajar-mengajar dalam kondisi kelas yang padat.
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Euis Rahmah Hamidah, Kepala Bagian Kurikulum dan Guru Keagamaan di SMAS BPN Bandung, yang setuju bahwa daya tampung yang tinggi bisa menjadi persoalan. "Kalau memang tidak dikelola dengan baik, situasi seperti itu bisa menjadi beban tersendiri bagi sekolah," tuturnya. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa jika sekolah negeri mendapat dukungan memadai, kualitasnya bisa setara dengan swasta. "Orang tua tentu berharap kualitas sekolah negeri juga bisa setara atau bahkan lebih baik," tambahnya.
Menghadapi tantangan ini, beberapa sekolah swasta berupaya bertahan dengan berbagai strategi. SMP QLP Rabbani berfokus pada peningkatan kualitas melalui kurikulum khusus yang terbaik, fasilitas yang memadai, dan program unggulan yang tidak dimiliki sekolah-sekolah negeri. "SMP QLP Rabbani sendiri siap bersaing secara kualitas melalui kurikulum dan program unggulan, karena jika kualitasnya bagus meskipun kita berbayar, pasti kita tetap dicari," ujar Faizal Amin.
Kepala Bagian Kurikulum SMAS BPN Bandung, Euis Rahmah Hamidah juga menekankan pentingnya inisiatif mandiri dari sekolah, seperti menjalin kerja sama melalui program CSR, membuat unit usaha, atau membentuk grup alumni untuk pendanaan. Ia juga menambahkan bahwa kepercayaan orang tua dan fleksibilitas sekolah menjadi alasan utama mengapa sekolah-sekolah swasta tetap dapat bertahan.
Kepala MTs Baabussalaam, Jajang Nurjaman pun berharap pemerintah memiliki hati nurani dan tidak mematikan sekolah-sekolah swasta yang telah berkontribusi selama bertahun-tahun. "Kami membantu mencapai keinginan Indonesia Emas 2045. Kalau tidak ada swasta, pemerintah mampu enggak dalam waktu singkat membangun sekolah-sekolah baru?" ungkapnya. Ia menegaskan, peran sekolah swasta sangat vital dalam ekosistem pendidikan, terutama dalam menampung siswa dari latar belakang ekonomi kurang mampu. "Pemerintah harus punya hati nurani supaya swasta yang sudah bertahun-tahun berkontribusi kepada negara, ya tetap pemerintah harus hadir dan harus memperhatikan," ujarnya.
Selain itu, Kepala SMP QLP Rabbani juga berharap pemerintah dapat menemukan solusi yang berkeadilan. Faizal Amin meminta pemerintah untuk lebih fair dalam menentukan kebijakan dan memperbaiki sistem penerimaan siswa baru. "Sekolah swasta juga bukan sekolah yang jelek, hanya saja berbeda sumber pendanaannya," tegasnya. Ia menambahkan bahwa masing-masing lembaga atau institusi pendidikan, baik swasta maupun negeri memiliki tujuan yang sama, yakni mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan sehingga kedepannya ia berharap seluruh lembaga atau institusi pendidikan baik negeri maupun swasta dapat melangkah maju secara beriringan. "Tujuan kita bersama tetap untuk mencerdaskan anak bangsa, cuma tantangannya mungkin lebih kompleks," pungkasnya.
Reporter: Salsabiil Firdaus, Lutfiah Nurrahma Faisal, Nurmalik Aziz Zarkasi (KPI/5B)
Tidak ada komentar
Posting Komentar